SATU
Anak Malam tampak loyo masuk ke lobi apartemen (aku
bilang rumah susun beradab!) dan merangkak ke lift. Limbung sudah dini hari.
Lift bergerak. Tubuhnya berguncang. Dia terlempar ke koridor lantai tujuh.
Anak Malam berhasil membuka pintu kamarnya, bernomor
13 (menurut legenda, ini angka sial. Mari kita buktikan!). tablet-tablet
berwarna dan laknat berceceran. Seperti juga harapannya. Dia tak sanggup lagi
mengumpulkannya. Dia Cuma berusaha membuka jendela kamar apartemennya,
menggapai setitik cahaya, menyongsong sinar matahari.
Padahal fajar masih lama.
Anak malam kini memencet nomor-nomor remote control,
mencoba menemukan dengan persis di mana garis hidupnya. Televisi pun menyala.
Dia mengeluarkan kaset, memasukkannya ke dalam video dan menyetelnya. Beginilah
yang tampak di layar raksasa.
DUA
Nurlela yang cantik dan sensual, menangis di depan
emaknya. Dia menyerahkan bayi yang masih merah; darah daginya sendiri. Bayi itu
menangis protes atas perlakuan ibunya. Nurlela agak kesal. Dia menimang-nimang
anaknya agar diam. Itu lebih baik ketimbang bayi itu dibuang di tong sampah
atau di pintu panti asuhan. Dia tidak akan pernah mampu melakukannya, karena
tahu itu dilarang oleh agama. Walaupun dia sudah melakukan hal sesat, tapi dia
tetap seorang ibu.
“Cucuku ganteng… seperti kakeknya, ya… Siapa bapaknya,
Nur?” Tanya Emak, ambil mengajak bermain cucunya.
“Emak tak perlu tahu siapa bapaknya.”
“Tak akankah kamu dating menengoknya, sekedar
memberinya kesempatan menikmati air susumu?”
Air matanya deras. Air mata seorang ibu. “Biarkan dia
tak pernah tahu siapa orangtuanya. Nur malu, Mak.”
“Sekotor apapun seorang ibu, tetap mulia sisi Tuhan.
Seorang anak adalah amanat. Didalamnya ada tanggung jawab dan harapan.”
“Nur sendiri masih punya harapan-harapan yang
belumterwujud, Mak.”
“Menjadi seorang penyanyi…,” Emaknya menggumam lagi
sambil menimang cucunya, “ itu mimpimu sejak kecil, Nur. Tapia pa yang kamu
peroleh? Seorang anak tak berdosa, tak berbapak pula.”
Nurlela ingat pada bapaknya yang selalu mengiringinya
menyanyi dengan permainan organ tunggalnya di panggung perayaan kota, di
perpisahan sekolah, di lomba-lomba nyanyi sekabupaten. Tapi bapaknya telah lama
berpulang, karena suatu penyakit.
Lalu ada pemandu bakat kenalan mendiang bapaknya,
membawa Nurlela ke belantara Jakarta. Kecantikan etnisnya membawanya ke
kehidupan erosi dan dekadensi moral. Belasan grup band dan pemandu bakat merasakan
tubuhnya, tapi janji rekaman Cuma omong kosong belaka. Dia cuma menyanyi di pub
sambil terus bermimpi masuk dapur rekaman. Tapi itu tak kunjung tiba. Padahal
dia sudah menyerahkan miliknya yang paling berharga.
Pernah Nurlela hamper bunuh dirikarena merasa
orang-orang Cuma memperalat tubuhnya. Tapi seorang wartawan mingguan yang
sedang menulis masalah hiburan malam, menyelamatkannya. Nurlela pun jatuh
cinta. Gayung bersambut. Mereka sepakat tinggal serumah, merenda hari-hari yang
indah. Tapi malang tak dapat ditolak, pria idamannya tewas. Si Wartawan jatuh
dari sebuah bangunan lantai tiga, ketika seang memotret kebakaran sebuah pasar
tradisional.
Akhirnya Nurlela memutuskan untuk memelihara janin di
rahimnya. Selain untuk mengenang segala yang indah dari si Wartawan yang sangat
dicintainya, dia tidak ingin mengulang dosa lagi. Tapi resikonya, dia tak bias
lagi terus bermimpi menjadi penyanyi terkenal. Mungkin menyanyi di pub-pub
sambil menerima tawaran ratusan ribu perak, tidur menemani lelaki hidung belang
di Ancol atau di Puncak!
“Siapa nama bayi ini?”
“Nur namai Anak Malam.”
“Nama yang aneh. Begitu suram,” si Nenek mengerenyitkan
alis. “Tak baik member nama seperti itu.”
“Hidup Nur memang suram, Mak. Malah kalau namanya
bagus, itu bias menjadi beban. Biarlah dia bercermin nanti, bahwa di balik
kesuraman hidupnya pasti akan muncul setitik cahaya terang,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar