Jumat, 23 Juli 2010

Keteladanan

Di antara hingar bingar berita kasus Bank Century, berita kontroversi Mantan Kabareskrim Susno Duadji, dan juga berita tentang mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada satu berita yang membuat saya gusar dan tak habis pikir. Berita tentang pembangunan vila-vila di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Bogor.

Ramai diberitakan banyak vila di sana yang tidak memilki izin. Padahal vila-vila itu berdiri di atas kawasan taman nasional yang dilindungi undang-undang. Di dalam berita itu disebutkan beberapa nama pemilik vila yang selama ini dikenal sebagai tokoh dan pemimpin.

Tapi bukan urusan perizinan itu yang membuat saya gusar dan prihatin. Melainkan alasan yang diberikan para pemilik vila. Alasan yang sampai detik ini mengganggu logika dan akal sehat saya. Seorang pemilik vila bersikukuh vilanya tidak melanggar aturan. Menurut sang pemilik vila yang mantan menteri, dia sudah lama mengajukan izin pendirian bangunan kepada Pemkab Bogor. Namun izin tak kunjung diberikan.

Lalu mengapa dia tetap membangun walau tanpa ijin? Alasannya sungguh mencengangkan. Menurut dia, tindakannya tidak salah karena di kiri dan kanan lokasi sudah banyak vila yang berdiri. “Mereka juga membangun tanpa izin,” ujar sang mantan menteri yang notabene  berpendidikan tinggi dan mengerti hukum.

Jika logika berpikir sang mantan menteri ini diikuti, akal sehat kita pasti jungkir balik. Bayangkan, suatu ketika
Anda melihat tetangga di sekitar Anda mencuri. Anda tergoda untuk ikut mencuri lalu meminta kepada polisi agar juga diizinkan mencuri. Karena polisi tidak kunjung mengeluarkan izin, Anda tetap mencuri. Ketika ditangkap, Anda marah. Salah polisi mengapa tak kunjung memberi izin. Bukankah tetangga kiri dan kanan juga mencuri?

Pemilik vila lain, seorang tokoh intelektual muda, punya logika lain. Menurut dia, pemerintah seharusnya berterima kasih dan memberinya apresiasi karena dia mendirikan vila di kawasan itu. Pasalnya, sebelum dia mendirikan vila, tanah di sana tidak terawat.

Saya mencoba mengikuti logika berpikir sang intelektual muda ini. Saya lalu membayangkan suatu ketika seseorang datang menawarkan kepada saya sebuah mobil dinas milik negara. Mobil itu tampak kusam karena tidak terawat. Lalu mobil itu  saya rawat hingga penampilannya berubah kinclong. Sehari-hari mobil itu saya pakai karena sudah menganggapnya milik sendiri. Bukankah saya sudah mengeluarkan uang untuk membelinya? Suatu ketika, instansi pemilik mobil mengetahui ada penyimpangan dan meminta saya untuk mengembalikan mobil tersebut karena itu milik negara.
Dengan memakai logika berpikir tokoh pemuda yang dikenal cerdas itu, saya akan mengatakan, “Seharusnya Anda berterima kasih kepada saya. Dulu mobil Anda jelek. Di tangan saya jadi bagus dan terawat.”

Tadinya saya berharap para pemilik vila akan menjawab semua tudingan pelanggaran de-ngan menunjukkan keabsahan surat izin pembangunan vila-vila mereka. Jadi, argumentasinya pada tataran hukum. Bukan dengan berbagai dalih yang susah dicerna akal.
Kasus di atas hanya cermin betapa di negeri ini semua hal bisa terjadi. Negeri di mana akal sehat dengan mudah dijungkirbalikan sesuka hati oleh para pemimpin, pejabat, dan pemegang kekuasaan. Negeri di mana perilaku buruk dipertontonkan secara terbuka justru oleh kaum elit. Permainan kata-kata dirangkai sebagai pembenaran. Rakyat dianggap hanya terdiri dari sekumpulan orang bodoh yang menerima begitu saja kebohong-an demi kebohongan.

Di antara berbagai persoalan besar yang mendera bangsa ini, kasus pembangunan vila di Halimun tadi mungkin hanya persoalan kecil.  Bukankah di negeri ini sudah terlalu banyak pelanggaran? Apalah artinya satu lagi pelanggaran “kecil”? Tetapi dari persoalan “kecil” ini tercermin situasi dan kondisi bangsa kita. Perilaku pemilik vila merupakan refleksi perilaku kaum elit di negeri ini.

Itulah yang membuat saya gusar. Keteladanan dari para pemimpin semakin hari kian jauh api dari panggang. Setiap hari rakyat  hanya disuguhi permainan kata-kata dari para elit di negeri ini. Kata-kata yang dipa-kai untuk membungkus perilaku yang tidak terpuji.

Rakyat tidak bodoh. Jika mereka diam, itu karena merasa tidak berdaya. Dalam kasus Century, rakyat mencium banyak ketidakberesan. Banyak misteri yang tidak terungkap dan terasa ditutup-tutupi dengan permainan kata-kata. Padahal rakyat begitu berharap kasus ini dapat terungkap “terang benderang”. Apalagi setelah berminggu-minggu disuguhi “sinetron” Pansus Century di DPR. Harapan tinggal harapan. Bukannya tuntas, kasus Century berakhir antiklimaks. Di negeri ini peraturan dan hukum seakan hanya berlaku untuk rakyat kecil. Bukan untuk kaum elit.  Demi hukum rakyat digusur, ditangkap, disiksa, dipenjara, dan dipermainkan nasibnya. Urusan gubuk reot di atas tanah negara bisa menjerat mereka masuk penjara. Tapi urusan vila mewah di tanah-tanah pemerintah, bisa bebas berdiri dengan pongah.

Lama-lama rakyat frustrasi. Maka jangan heran jika belakangan ini kita disuguhi berita kerusuhan di mana-mana. Mulai dari tawuran di kampus, bentrokan antar-desa, pilkada yang hampir selalu rusuh, gusur menggusur yang berdarah-darah, sampai urusan senggol-senggolan di acara musik yang dengan mudah berubah menjadi perkelahian massal.

Di tengah rasa frustasi, rakyat butuh keteladanan. Keteladanan dari para pemimpin. Rakyat tidak butuh lagi kata-kata kosong yang dibungkus janji-janji. Rakyat butuh tindakan yang seia antara kata dan perbuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar