Minggu, 11 Desember 2011

Bila uang yang maha berkuasa

    Dalam beberapa pekan terakhir ini, anggota DPR sedang hangat-hangatnya membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) agar menjadi UU Pemilu. banyak persoalan yang menyebabkan pembahasan itu begitu njelimet, ruwet, dan tambah mumet. Tujuan utamanya adalah demi kesempurnaan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, bebas, jujur, dan adil.
    Namun dari keinginan untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilihan umum, ternyata banyak kepentingan masing-masing partai yang diupayakan bisa terakomodasi dalam UU Pemilu yang direncanakan rampung pembahasannya pada Maret 2012 mendatang itu. Sebut saja soal pembagian daerah pemilihan (dapil), bilangan pembagi pemilih (BPP), jumlah keterwakilan atau ambang batas di parlemen, sistem pemilu, dana kampanye, persyaratan kampanye, dan lain sebagainya.
    Masing-masing pihak, baik anggota DPR yang berasal dari kelompok partai kecil (suara minoritas) maupun parpol besar yang banyak mengantarkan wakilnya melenggang ke Senayan, saling ngotot  dan adu kuat adu argumentasi mempertahankan dan memasukkan kepentingannya. Alih-alih untuk kepentingan yang lebig besar, ujung-ujungnya kekuasaan dan uang semata.
    sudah menjadi rahasia umum tentang apa tujuan masing-masing orang yang bergabung ke partai politik dan kemudian menjadi calon wakil rakyat. Apa tujuan mereka yang mencalonkan dirimenjadi bupati, wali kota, gubernur, ataupun jabatan publik lainnya? Benarkah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak agar
bisa hidup sejahtera?
    Kata anak muda sekarang, boro-boro untuk menyejahterakan rakyat, mereka yang mengincar jabatan publik itu ujung-ujungnya untuk menyejahterakan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Boro-boro meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengembalikan dana pribadi yang dipakai untuk kampanye saja tidak bisa. Akibatnya, jalan ang harus ditempuh agar semua dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali adalah dengan melakukan KORUPSI, mark up anggaran, dan praktik tak terpuji lainnya.
    Karenanya, ketika diantara mereka tidak terpilih menjadi wakil rakyat atau pejabat publik, kegilaanlah yang terjadi. Mereka stress, bahkan ada yang sampai mau bunuh diri. Sebab, utangnya sudah sangat banyak dan tidak yakin mampu mengembalikannya.
    jadinya saat mereka duduk di kursi panas itu, langkah yang kemudian dilakukan adalah bagaimana caranya semua demi uang dan kekuasaan. Mereka berupaya mempertahankan status quo. Karenanya, segala cara dilakukan. Apapun harus diupayakan, supaya bisa menjadi uang. Membahas undang-undang harus ada uang. Instansi pemerintah yang ngotot ingin memasukkan kepentingannya terkadang harus rela disandera atau membayar sejumlah dana agar bisa lolos. Setiap proyek yang diajukan harus ada fee (komisinya).
    Tak heran bila kemudian Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahmud MD pun jengkel dengan sikap anggota DPR. Mantan anggota DPR dari PArtai KEbangkitan Bangsa (PKB) itu menudinhg seringnya terjadi juaal belipasal di lembaga perwakilan rakyat itu.
    Mantan anggota KOmisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti pun resah. ia mengungkapkan, pembahasan RUU Pemilu saat ini lebih banyak diwarnai dengan kepentingan masing-masing parpol. Semuanya berdasarkan pada kepentingan kekuasaan belaka. Pembuatan Undang-undang lebih banyak ditujuakan untuk kepentingan kelompok ketimbang kepentingan masyarakat umum.
    Apalagi bila uang yang berbicara, semuanya terkalahkan. Kepentingan rakyat kalah oleh uang. Keuangan berkuasa, karena itu, kini muncul istilah "keuangan yang 'maha' berkuasa". ini adalah sindiran buat para wakil rakyat dan pejabat publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar