Rabu, 10 Oktober 2012

Wawancara dengan Mark Gergis, Pencetus Album Kompilasi 'Indonesia Pop Nostalgia'

Jakarta - Terinspirasi dari musik pop, folk, rock, dan lagu anak-anak Indonesia tahun '70-an dan '80-an yang ia dengar lewat medium kaset serta piringan hitam pada periode 2004 hingga 2008, seorang musisi, komposer, produser, serta pengarsip seni audio dan visual kelas internasional, Mark Gergis, yang juga merupakan pemilik label rekaman independen Sham Palace memutuskan untuk merilis sebuah album kompilasi dengan tajuk Indonesia Pop Nostalgia: Pan – Indonesian Pop, Folk, Instrumentals & Children’s Songs 1970s – 1980s.Album yang dirilis dalam format piringan hitam terbatas sebanyak seribu keping ini berdurasi 43 menit dan diisi dua belas lagu yang antara lain menampilkan vokal Ira Maya Sopha dan Dina Mariana saat masih berstatus sebagai penyanyi cilik. Instrumentalia dari Orkes Melayu Bulan Purnama serta dua lagu instrumental asal Minang gubahan Kamar Ruddin Z juga turut serta meramaikan album ini.

Ada pula “Dikijoknyo”, sebuah reinterpretasi lagu Bollywood klasik, “Man Dole Mere Tan Dole”, dalam gaya pop Minang oleh penyanyi Sumatera dari dekade '80-an bernama KIM. Nama legendaris seperti Bimbo dan Aria Junior pun tercatat sebagai eksponen Indonesia Pop Nostalgia.

Kompilasi ini memang mengedepankan musik-musik dari Pulau Jawa dan Sumatera, namun Gergis tidak menampik adanya pengaruh kuat dari musik populer dan tradisional bernafas Islami, Arab dan juga Asia Selatan, di samping tentu saja ragam warna kebarat-baratan. Menurut Gergis, perpaduan tersebut
menampilkan sejarah Indonesia dalam bentuk musikal yang meliputi era sebagai bangsa yang dijajah, asimilasi rohani serta pertukaran budaya dan sistem ekonomi.

Wajar saja, kepada Rolling Stone Indonesia ia menyatakan harapannya agar Indonesia Pop Nostalgia dapat membantu mempromosikan budaya dan musik Indonesia dengan cara yang sedikit berbeda, jika bukan tidak lazim, dibanding apa yang sudah pernah ditampilkan sebelumnya.

Indonesia Pop Nostalgia merupakan rilisan ketiga Sham Palace setelah Leh Jani milik musisi Suriah yang pernah berkolaborasi dengan Bjork, Omar Souleyman, dan album kompilasi musik Suriah bertitel Dabke: Sounds of the Syrian Houran.

Perlu dicatat bahwa Gergis juga sering terlibat dalam pengerjaan rilisan-rilisan Sublime Frequencies, label rekaman asal Seattle yang merilis ulang katalog Dara Puspita dan Koes Bersaudara (juga Koes Plus). Beberapa rilisan Sublime Frequencies yang juga beraroma Indonesia antara lain adalah Folk and Pop Sounds of Sumatra Vol. 1, Folk and Pop Sounds of Sumatra Vol. 2, Radio Sumatra: The Indonesian FM Experience, Radio Java, Night Recordings from Bali, dan sebuah DVD berjudul Sumatran Folk Cinema yang menampilkan kolase gambar serta suara dari budaya Sumatera.

Gergis juga memiliki proyek musik bernama Neung Phak, di mana ia bersama rekan bandnya rajin membawakan ulang lagu-lagu dari Asia Tenggara, salah satunya adalah “Bang Toyib” yang bisa didengar di sini.

Melalui surat elektronik, Rolling Stone Indonesia berkesempatan untuk mewawancarai pria berdarah Assyria asal Irak ini mengenai kompilasi Indonesia Pop Nostalgia, mulai dari awal mula tercetusnya ide untuk menggarap proyek ini hingga inspirasi rancangan sampul album yang dicomot dari sebuah buklet antik.

Bagaimana proyek Indonesia Pop Nostalgia ini dimulai?
Kompilasi ini terdiri dari beberapa lagu Indonesia favorit saya pribadi yang saya temukan saat mendatangi ke sana antara tahun 2004 hingga 2008. Sebagai seorang musisi, saya selalu mencari musik dari daerah-daerah yang saya sambangi. Alhasil, saya menghabiskan banyak waktu mencari kaset dan piringan hitam, merekam siaran radio serta mendokumentasikan, dalam format video, musik jalanan dan penampilan-penampilan di klub malam Indonesia. Melalui petualangan musikal inilah hubungan saya dengan musik dan budaya Indonesia dimulai.

Lagu-lagu yang ada dalam album ini diambil dari kaset orisinal yang saya temukan di Jawa dan Sumatera, dan ada pula beberapa dari piringan hitam yang saya dapat di Jakarta. Pada tahun 2008, saya bersama seorang teman memulai sebuah DJ night di San Fransisco di tempat saya kerap kali, untuk pertama kalinya, memainkan lagu-lagu yang saya dapat dari perjalanan ke Syria, Thailand atau Indonesia; dan beberapa lagu yang kini masuk ke dalam Indonesia Pop Nostalgia dianggap sebagai favorit pada DJ night tersebut. Teman dekat dan penggemar dari DJ night itu sering meminta untuk dibuatkan mixtape, jadi sedikit banyak mereka telah mendorong saya untuk merilis Indonesia Pop Nostalgia dalam format piringan hitam. Kompilasi ini bisa dikatakan sebuah mixtape berbentuk piringan hitam yang diisi oleh lagu-lagu yang lekat di hati saya selama bertahun-tahun.

Sejak kapan Anda mendengarkan musik Indonesia?
Sekitar awal dekade '90-an. Saya merasa jenuh dengan kondisi kancah musik di Amerika Serikat saat itu. Bahkan pahlawan-pahlawan indie rock dari dekade '80-an sudah mulai mengecewakan saya dengan hasil karya yang tidak menggairahkan, dengan begitu saya mulai memperhatikan musik dari belahan dunia lainnya. Ayah saya dari Irak, jadi otomatis saya tumbuh mendengarkan beberapa musik Arab, kemudian saya pun memutuskan untuk kembali mendengarkan lagu-lagu itu dengan telinga yang sudah dewasa. Pada awal dekade '90-an tersebut, saya juga sudah mulai bermain musik dalam band lokal dan menjadi sangat terinspirasi dengan materi-materi di luar paradigma barat. Akhirnya, tumbuh di San Fransisco yang memiliki komunitas Asia luas, musik dari Asia Tenggara menarik perhatian saya. Betapa beruntungnya saya bisa menyimak kaset dan piringan hitam dari kawasan tersebut lewat perpustakaan Asia yang ada di sana.

Apa lagu Indonesia pertama yang Anda dengar? Dari siapa Anda mendapatkannya?
Ada sebuah CD rilisan label rekaman Original Music tahun 1990, Street Music of Java; ini adalah salah satu pertemuan awal saya dengan musik folk pop Jawa. Di luar gamelan Bali, dan kaset-kaset dari beberapa pelancong yang kembali dengan kisah aneh mengenai rumor yang mereka dengar selama di Indonesia, sangat sedikit orang yang mengetahui tentang kancah musik Indonesia, khususnya Jawa, yang sebenarnya tumbuh subur. Seperti yang Anda tahu, sebelum kemunculan Internet, dunia merupakan tempat yang lebih besar. Anda harus benar-benar menjelajahi suatu tempat, banyak bertanya, dan bersedia untuk menyelam dalam-dalam ke dunia musik yang sedang Anda cari tahu demi mendapat materi untuk didengarkan. Etnomusikolog saat itu tidak banyak berfokus terhadap musik kontemporer populer, dan ketika mereka melakukan itu, mereka malah menulis esai akademis bertele-tele, yang hampir pasti tidak akan tersedia untuk umum.

Semua berubah ketika seorang teman di Jerman membawakan saya kaset-kaset dari Jawa pada akhir dekade '90-an. Dari kaset itulah saya pertama kali mendengar lagu-lagu Benyamin S. dan Ida Royani. Saya terkejut, karena pada saat itu, dan bahkan sampai baru-baru ini, Indonesia tidak dikenal sebagai penghasil gaya bermusik pop dan rock yang kreatif nan inovatif. Beberapa tahun setelahnya, dan terutama setelah saya akhirnya bisa mengunjungi Indonesia, saya mulai mempelajari ragam musik Indonesia beserta asalnya. Mendengarkan gaya musik Jawa seperti pop sunda, orkes Melayu, dangdut, kroncong, qasidah, gambus, lalu Saluang dangdut dan pop Minang dari Sumatera, serta mempelajari perkembangannya via rekaman-rekaman yang berusia beberapa dekade merupakan pengalaman seru bagi saya. Ini adalah alam semesta musik yang berdiri sendiri, dan saya tidak pernah bosan terhadapnya.

Anda merupakan salah satu orang di balik Sublime Frequencies, yang notabene pernah merilis sejumlah musik dari Indonesia, apa yang membuat Anda memilih Sham Palace sebagai label rekaman yang merilis Indonesia Pop Nostalgia?
Sebagai catatan, saya merupakan kontributor dan kolaborator langganan Sublime Frequencies sejak pertama kali mereka berdiri pada 2003 dan itu masih belum berubah. Semua kunjungan saya ke Indonesia selalu bersama Alan Bishop (salah satu pendiri Sublime Frequencies), dan kami mengalami banyak penemuan musikal secara bersama di sana. Sham Palace sendiri merupakan label rekaman yang berskala lebih kecil dibanding Sublime Frequencies, saya mendirikannya pada 2011 demi merilis beberapa karya favorit saya pribadi serta sejumlah materi bagus dalam arsip saya. Indonesia Pop Nostalgia menampilkan sekumpulan lagu dari dekade '80-an dan kehadiran synth yang kuat, sementara Sublime Frequencies memfokuskan diri kepada musik dari dekade '60-an dan '70-an. Ada perbedaan antara kedua label rekaman tersebut, namun saya harap mereka juga melengkapi satu sama lain.

Apakah Anda satu-satunya kurator untuk Indonesia Pop Nostalgia?
Ya, lagu-lagu yang ada dalam album ini dipilih oleh saya sendiri. Saya pula yang merancang sampul albumnya.

Apa saja kesulitan-kesulitan yang harus Anda hadapi dalam penggarapan kompilasi ini?
Walaupun ini merupakan hal yang sangat saya senangi untuk lakukan, saya pikir salah satu aspek tersulit sekaligus terpenting dalam membuat kompilasi secara umum adalah proses seleksi lagu dan pengurutan luasnya ragam suara dan gaya agar dapat membuat sebuah kompilasi terasa kohesif dan menarik, serta mampu mewakili budaya asal; apalagi target saya untuk Indonesia Pop Nostalgia adalah orang-orang di luar Indonesia. Karena banyaknya audio yang diambil dari kaset, merupakan tantangan juga untuk merestorasinya hingga tergolong nyaman didengar.

Lalu apa saja kriteria yang harus dipenuhi agar sebuah lagu bisa masuk ke dalam Indonesia Pop Nostalgia?

Setiap lagu memiliki rasanya masing-masing. Dari semua musik Indonesia dekade '70-an dan '80-an yang saya koleksi, lagu-lagu yang ada di Indonesia Pop Nostalgia adalah yang secara konsisten menarik perhatian saya. Pilihan untuk menyatukan lagu-lagu tersebut didasari oleh selera pribadi, bagaimana sebuah lagu mewakili suatu aliran musik atau perasaan serta bagaimana, menurut saya pribadi, sebuah lagu mewakili keragaman yang dimiliki musik kontemporer Indonesia saat itu. Seperti yang saya tulis sebagai catatan pinggir Indonesia Pop Nostalgia: ‘Lagu-lagu ini tidak pernah dimaksudkan untuk berdiri berdampingan. Walau begitu, inilah mereka, sebuah perserikatan musik dari Pulau Jawa dan Sumatera yang menimbulkan rasa rindu terhadap suatu masa tertentu. Musik dari dua wilayah tersebut dipilih untuk dihubungkan dalam album ini demi melayani satu dari banyak pintu masuk ke dalam musik folk pop Indonesia yang gemilang nan beragam.’

Lagu anak-anak yang ada pada kompilasi ini sangatlah menawan bagi saya. Selama bertahun-tahun, saya mulai mengoleksi lagu anak-anak dari seluruh dunia. Lagu anak-anak seringkali dimainkan oleh musisi dewasa; tak peduli musisi tersebut merupakan session player atau dari kelompok musik kontemporer yang mapan, saya merasa bahwa ketika musisi dewasa memainkan lagu anak-anak, mereka menjadikannya bak taman bermain musikal dengan melakukan pendekatan padat eksperimen serta memanfaatkan suara-suara aneh sehingga membuat sebuah lagu menjadi pengalaman mendengarkan musik yang hebat.

Anda mencampur lagu anak-anak dengan musik dewasa, kontemporer dengan tradisional; apa yang membuat Anda memutuskan untuk melakukan hal tersebut? Bukankan itu justru akan menimbulkan ambiguitas yang dapat membuat pendengar kebingungan?
Masalahnya adalah saya pikir mayoritas pendengar musik dari Barat sudah terlanjur bingung dengan musik serta budaya Indonesia, dan saya harap mereka bisa banyak menggali dari Indonesia Pop Nostalgia, ada banyak gaya dan pendekatan musik pada kompilasi ini. Album ini tidak dimaksudkan untuk menjadi pembedahan komprehensif suatu aliran musik tertentu, namun menurut saya ada kejutan berupa semangat eklektisisme yang bergulir di sepanjang album dan berhasil menyatukan lagu-lagu di dalamnya. Melalui banyak gaya dan suara, saya harap kompilasi ini dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki sejarah musik yang beragam, pintar dan bergairah. Sorotan yang sangat kurang terhadap kancah musik Indonesia membuat banyak orang Barat tidak mengetahui hal tersebut.

Saya bukanlah seorang ahli musik Indonesia, namun saya harap koleksi ini dapat bertindak sebagai gerbang kecil atau titik masuk ke musik Indonesia. Saya bahagia jika Indonesia Pop Nostalgia dapat membantu mempromosikan budaya dan musik Indonesia dengan cara yang sedikit berbeda, jika bukan tidak lazim, dibanding apa yang sudah pernah ditampilkan sebelumnya.

Di era Internet seperti sekarang ini, kita dapat mendengar banyak lagu dari berbagai musisi dunia secepat kilat. Ini adalah sebuah berkah tergantung dari mana Anda melihatnya, sebagai contoh kini orang-orang bisa dengan cepat mempelajari kancah musik modern Indonesia, dari indie, punk, metal, pop, rap, hingga rock. Namun sebaliknya, sangat mudah untuk kehilangan banyak hal di Internet, misteri dan pertanyaan, konteks dan fokus dapat dengan lekas terkubur oleh segala puing-puing online. Semoga saja, kompilasi ‘asing’ ini dapat menawarkan pengalaman mendengarkan musik yang terfokus. Di luar ambiguitas yang terasa jelas atau pilihan lagu yang aneh, Indonesia Pop Nostalgia memungkinkan pendengar untuk duduk sambil saksama mendengarkan rilisan fisik yang disusun hati-hati tanpa gangguan ‘recommended viewing’ atau tautan video yang menampilkan seekor kucing imut.

Sebagai perancang sampul album ini, kenapa Anda memilih sampul sebuah buklet berjudul Rahasia Ilmu Meringankan Tubuh sebagai desainnya?
Ketika jalan-jalan ke negeri orang, saya selalu mengoleksi buku, majalah, foto, hingga tentu saja musik. Saya menemukan buklet tersebut di toko buku antik Jakarta, gambarnya indah dan mencolok bagi saya, namun saya tidak pernah berpikir untuk menggunakannya sebagai sampul album. Beberapa ide bermunculan di dalam kepala saya saat memikirkan soal sampul depan, namun seiring berjalannya waktu dan mengingat sifat dari kompilasi ini, saya memutuskan bahwa sampul akan lebih berdampak kuat jika menggunakan gambar yang tidak terkait dengan salah satu grup/musisi pada kompilasi, terutama karena melakukan hal tersebut akan memberikan penekanan terhadap artis tertentu, sementara menurut saya kompilasi ini diperlukan untuk bebas dari asosiasi-asosiasi seperti itu.

Secara keseluruhan, ini adalah sebuah pilihan estetika. Sampul album Indonesia Pop Nostalgia, begitu juga dengan konten dari album ini, dirancang untuk menjaga semangat penemuan, layaknya artefak yang mungkin Anda temukan di suatu tempat secara kebetulan. Anda tidak harus memahaminya, tapi ada sesuatu yang membuat Anda tertarik, dan saat Anda membawa pulang sesuatu yang belum pernah Anda dengar sebelumnya, terbukalah dunia baru. Itu adalah semangat yang kita semua miliki saat menemukan album atau buku atau film yang belum pernah kita dengar atau baca atau tonton sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar