Rabu, 28 April 2010

Hukuman mati


Walau disadari melanggar hukum, gerakan para Facebooker untuk menggalang suara guna menolak membayar pajak dapat dipahami. Kita sudah mu-ak dengan perilaku para koruptor. Apalagi setiap hari kita dicekoki berita terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan orang-orang “terhormat” di ne-geri ini.
Pada awal terpilih sebagai presiden republik ini, SBY mengumandangkan seruan perang terhadap korupsi. Jika belakangan ini berbagai kasus korupsi terungkap ke permukaan, maka ada dua sudut pandang yang berkembang di masyarakat.
Pertama, pandangan dari kalangan istana dan mereka yang pro-SBY. Kelompok ini dengan lantang mengatakan terbongkarnya berbagai kasus korupsi itu menunjukkan keberhasilan pemerintah melawan praktik-praktik korupsi di negeri ini. Artinya pemerintahan SBY sukses memerangi korupsi.
Pemahaman berbeda datang dari kalangan pengamat, praktisi bisnis, dan tentu saja para oposan. Terbongkarnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan birokrasi, aparat kepolisian, perbankan, dan juga wakil rakyat di DPR, menunjukkan kegagalan seruan perang terhadap korupsi.

Banyak kasus korupsi yang terjadi justru di era pemerintahan SBY. Mereka yang menggasak uang negara tidak menggubris seruan, bahkan ancaman, SBY. Pembentukan Satgas Anti-Mafia juga dilihat sebagai kegagalan pemerintahan SBY menjalankan fungsi pengawasan melalui aparat kepolisian, kejaksanaan, dan kehakiman.

Lepas dari semua itu, “nyanyian” mantan Kabareskrim Susno Duadji dianggap cara Tuhan untuk membongkar kebusukan yang selama ini tercium tetapi tidak terlihat. Sudah lama rakyat merasakan dan mendengar kebobrokan di kalangan kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan aparat birokrasi. Termasuk di kalangan anggota dewan yang terhormat yang katanya mewakili rakyat.

Semakin lama Susno Duadji “bernyanyi”, semakin banyak borok aparat terbongkar. Tak heran jika rakyat marah, muak, dan kehilangan kepercayaan kepada aparat pemerintah. Dalam kasus Gayus Tambunan, aparat pajak menjadi bulan-bulanan masyarakat. Selain plesetan “apa kata dunia?”, banyak karyawan kantor pajak yang mengaku jiwa mereka tertekan karena menjadi “musuh bersama” saat ini.

Dalam situasi seperti itu kita dikejutkan berita Keluarga Kadana di Indramayu yang diperdaya oknum polisi. Demi membebaskan sang suami dari dakwaan pembunuhan, istri Kadana dan keluarganya terpaksa menjual rumah semata wayang mereka.
Alih-alih bebas, Kadana malah dipidana tujuh tahun. Ironis dan tragis. Kasus ini nyaris tidak muncul ke permukaan kalau saja kakak Kadana tidak “nyanyi” di depan para wartawan.

Sungguh rasa keadilan kita terkoyak. Apalagi jika mengingat berbagai kasus yang terjadi sebelum ini. Betapa rakyat kecil yang diputus hukuman berat oleh pengadilan hanya karena mencuri semangka, mencuri beberapa buah coklat, termasuk kasus dua janda veteran yang masuk pengadilan karena mempertahankan rumah warisan suami mereka.

Kita geram ketika mengingat hukuman empat tahun penjara yang dijatuhkan pada Robert Tantular yang ‘merampok” miliaran dana Bank Century dan mengakibatkan banyak nasabah bank itu menderita kerugian, stres, bahkan bunuh diri. Bandingkan dengan pencuri sekarung sandal di Jawa Tengah––yang nilainya tidak sampai satu juta rupiah––yang juga dijatuhi hukuman empat tahun. Rasa keadilan kita dijungkirbalikkan.

Maka wajar kalau muncul kembali desakan untuk memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Kejahatan korupsi memang dapat diganjar hukuman mati. Masalahnya, pasal ini tidak pernah disentuh para hakim di pengadilan. Banyak hakim justru menjatuhkan hukuman ringan bagi para koruptor. Tak heran jika aroma suap sangat kental dalam banyak keputusan kasus korupsi.

Saatnya pemerintah bersikap tegas pada koruptor yang selama ini menari-nari di atas penderitaan rakyat. Lepas dari pro dan kontra, hukuman mati sudah saatnya diterapkan. Terutama bagi para koruptor yang menggasak uang ne-gara, yang notabene uang rakyat, dalam jumlah besar.

Hukuman mati memang tidak akan menghentikan korupsi. Tapi hukuman mati setidaknya membuat para calon koruptor berpikir ratusan kali sebelum menilap uang negara. Harus ada shock therapy. Termasuk mempermalukan mereka di depan umum. Maka, saya setuju de-ngan usulan menyita harta terpidana koruptor dan mempekerjakan mereka untuk membersihkan WC umum di terminal-terminal, tempat-tempat publik, dengan mengenakan seragam khusus yang mudah dikenali.

Muak rasanya setiap hari menyaksikan praktik korupsi semakin merajalela. Apalagi menyangkut aparat yang selama ini kita percayai menjadi pelindung dan pengayom rakyat kecil. Korupsi sudah menjadi penyakit kronis. Dia menyebar ke mana-mana. Menyusup ke tubuh kepolisian, kejaksaan, kehakiman, keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan seluruh tubuh birokrasi. Termasuk merambah sampai dunia pendidikan dan olahraga.
Di negeri tercinta ini perlakuan kepada para koruptor dan mantan koruptor sungguh jauh dari rasa keadilan. Di negeri ini maling ayam wajib memakai baju seragam tahanan. Sementara tahanan kasus korupsi bisa tampil perlente menebar senyum. Jika pemerintah Hongkong memberlakukan larangan mempekerjakan mantan koruptor, di negeri tercinta ini mantan terpidana kasus korupsi bisa leluasa menjadi ketua PSSI, ketua persatuan atletik, politisi, bankir, bahkan direksi perusahaan-perusahaan besar. Ironis memang

1 komentar:

  1. saya setuju banget,
    dan saya heran kenapa rakyat kecil selalu menjadi yg tertindas.
    kita harus tegas sm pra koruptor

    apa kata dunia ...

    BalasHapus