Rabu, 28 April 2010

Penting ga sih jejaring sosial


MENJALIN pertemanan di mana pun memang menyenangkan. Tak hanya di dunia nyata, di jagat maya pun bermunculan situs-situs pertemanan atau jejaring sosial (social networking site), yang semakin lama semakin digandrungi. Sejauh mana kita bisa menimbang positif dan negatifnya?

Bicara tentang situs jejaring sosial, salah satu yang kini tengah menyihir dunia ialah Facebook. Facebook mungkin bukan yang pertama, tapi sejauh ini ia paling fenomenal. Menyebut beberapa di antaranya yang juga memikat pengguna, misalnya, Friendster, Myspace, Hi5, Twitter, Plurk, atau Multiply. Namun, situs besutan mahasiswa Harvard, Mark Zuckerberg, yang dibuat tahun 2004 itu memang menuai popularitas begitu dahsyat. Menurut data www.allfacebook. com, kini Facebook telah meraup massa sekitar 200 juta orang di dunia. Di Indonesia sendiri, ada tak kurang dari 3 juta pengguna Facebook.

Berbagai kalangan lintas usia, profesi, agama, dsb., turut tergila-gila pada mainan baru ini. Facebook memfasilitasi komunikasi dan interaksi secara virtual tanpa batas ruang dan waktu. Teman-teman yang tak tahu di mana rimbanya, ternyata bisa bertemu kembali melalui Facebook. Tidak hanya teman sejawat, bahkan kita bisa juga berkawan dengan sosok yang terasa jauh di alam nyata, seperti artis, politisi, dan sejumlah orang beken lainnya. Tak heran, makin lama makin banyak pula orang yang mendaftar sebagai -meminjam istilah Goenawan Mohammad- Jemaah Al-Fisbuqiyyah, terutama mereka yang berasal dari kalangan muda.

Mengapa Facebook melejit? Enda Nasution, praktisi komunikasi digital yang juga dikenal sebagai penggiat blogger, menilai keistimewaan Facebook terletak pada fasilitasnya yang variatif dan cenderung mudah dipelajari. Apakah Facebook akan bertahan atau kembali ditinggalkan layaknya Friendster, Enda belum bisa diprediksi. Yang jelas, Facebook muncul dengan segala sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, lewat berbagai aplikasi yang seru dalam era Web 2.0. Keberadaan fitur chat, notes, atau sistem tag, merupakan sebuah inovasi tersendiri. Bahkan kini, Facebook menjadi hosting foto terbesar, mengalahkan situs foto seperti Flickr atau Picasso.

Lebih dari sekadar mencari teman dan memasukkannya dalam friendlist, situs semacam ini bisa menawarkan lebih dari itu. Sharing untuk media seperti audio, video, foto, dan notes, merupakan salah satu wujud kebebasan yang memungkinkan siapa saja dapat meng-upload apa saja. Dengan segala risiko yang ada tentunya. Bagaimana dengan jaminan keamanan? " Kalau di Facebook , kan bisa diatur untuk foto dan profil dalam privacy setting. Sebelumnya, juga ada term of use kalau foto yang sudah di-posting di Facebook maka akan menjadi milik Facebook, tapi karena diprotes keras, sehingga sekarang sudah tidak lagi," kata Enda.

Tidak hanya menggunakan, sebagian orang bahkan sudah dalam tahap keranjingan Facebook. Tak sedikit orang-orang yang sejak bangun tidur, langsung membuka Facebook. Ketika tiba di kampus atau kantor, lalu membuka lagi Facebook-nya hingga waktu pulang tiba dan kembali diteruskan di rumah. Sesekali, aktivitas itu masih diselingi pula dengan mengecek lewat smartphone yang kini marak, sekadar untuk melirik pesan dan komentar baru yang masuk, dan begitu seterusnya setiap hari.

Pola komunikasi Internet ini, pada tahap tertentu bisa menimbulkan adiksi yang mungkin berpengaruh terhadap kehidupan nyata. Menurut Jerald J. Block, M.D, dalam sebuah editorial yang diterbitkan American Journal of Psychiatry (2008), ada beberapa ciri-ciri orang yang teradiksi terhadap internet, yaitu, penggunaan yang berlebihan, kegelisahan ketika tidak mengakses internet dalam interval waktu tertentu, peningkatan toleransi terhadap adiksi internet itu sendiri, dan dampak negatif (termasuk isolasi sosial).

Tak heran, dalam dunia pekerjaan isu ini mendapat perhatian khusus. Beberapa perusahaan menutup akses situs jejaring sosial di area perkantorannya. Kabarnya, pemblokiran Facebook dilakukan karena banyak pegawai ketika jam kerja membuka Facebook dan membuat kinerja mereka menurun.

Dalam kerangka dunia pendidikan, keberadaan Facebook pun cukup mendapat sorotan. Salah satu survey yang dilakukan oleh Ohio University , menyebutkan bahwa mahasiswa yang kerap menggunakan Facebook ternyata menjadi malas dan bodoh. Menurut studi yang mengambil sampel 219 mahasiswa Ohio State University tersebut, semakin sering mahasiswa menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu mahasiswa belajar dan semakin buruklah nilai-nilai mata pelajaran mahasiswa.

Menurut Dosen Fikom Unpad, Dede Mulkan, berbagai fasilitas yang ditawarkan dalam Facebook memang bisa saja membuat mahasiswa betah menguliknya berjam-jam atau bahkan seharian. Sadar tak sadar, mahasiswa tersebut kemudian lupa waktu belajar, padahal mungkin besoknya ada ujian. "Tapi kebodohan itu bukan karena Facebook-nya, melainkan mahasiswanya yang tidak berkomitmen belajar," kata Dede.

Dituturkan Dede, situs jejaring sosial semacam Facebook sesungguhnya sangat bermanfaat untuk menjalin komunikasi secara lebih efisien waktu, tenaga, dan biaya. Ia sendiri kerap menjalin komunikasi dengan para mahasiswanya melalui fitur chatting di Facebook, baik sekadar saling bertanya kabar hingga bimbingan skripsi. Ia bahkan mewajibkan setiap mahasiswanya untuk memiliki alamat e-mail untuk bisa berkomunikasi lewat e-mail, messenger, maupun situs jejaring sosial.

Interaksi dunia pendidikan pun mengalami pergeseran. Dulu boleh jadi dosen dan mahasiswa hanya bertemu di dalam kelas atau di kampus. Kini, para mahasiswa mengajak dosen-dosennya berteman di Facebook. Ada semacam dekonstruksi hubungan mahasiswa dan dosen, yang membuat nuansa lebih egaliter di sana. "Mahasiswa suka bertanya ulang tentang tugas. Kalau bertanya secara langsung kadang suka canggung, kalau lewat situs semacam ini, mahasiswa lebih berani dan bisa berkomunikasi tanpa batas dengan dosen," kata Dede.

Selain sebagai hiburan pelepas stres, Dede merasakan keefektifan Facebook dalam penyiaran informasi. Untuk hal itu, biasanya ia memakai fasilitas notes atau rutin meng-update statusnya tentang info perkuliahan. Beberapa waktu lalu, ia mengisahkan, ada ratusan mahasiswa Fikom Unpad Bandung yang sudah kurang jelas di mana keberadaannya, namun mereka dituntut segera lulus kuliah. "Saya sampaikan informasinya di Facebook, ternyata luar biasa cepat menyebar," kata Dede.

Menilik manfaatnya, maka Dede terang-terangan tidak sepakat jika kehadiran Facebook "dilarang" oleh sekelompok pihak atas nama fatwa, seperti kabar yang ramai didengar belakangan ini. Pada titik ini, ungkapan klasik "the man behind the gun" atau kembali kepada pelakunya, mungkin akan tepat.

Menurut Dede, kini keberadaan teknologi komunikasi dan informasi tidak dapat dicegah, karena cepat atau lambat ia datang dengan sendirinya memasuki ruang-ruang kehidupan. Mau tak mau kita pun akan "nyemplung" juga, sebab kini internet boleh jadi sudah menjadi kebutuhan pokok masa kini. Ia pribadi prihatin jika situs jejaring sosial mengundang ekses negatif, misalnya, meruntuhkan komunikasi di dunia nyata karena tergantikan secara virtual. "Idealnya, kita pandai me-manage supaya teknologi justru mempermudah kehidupan kita," katanya.

**

JIKA jejaring sosial seperti Facebook tidak digunakan dengan bijak, hubungan kekerabatan antarmanusia bakal kehilangan keintimannya. Tidak dimungkiri, kegunaan Facebook sebagai sarana siluturahmi. Lebih dari itu, Facebook pun lengkap memberitahu kita mengenai kabar, status hubungan, info rumah, telepon, dan foto terbaru orang di sekeliling kita. Namun yan berbahaya, adalah jika silaturahmi dianggap selesai hanya via Facebook, tanpa tindak lanjut.

Menurut Alfathri Adlin, anggota Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB, interaksi dalam situs jejaring sosial itu kerap bersifat hiperealitas, yaitu semu menciptakan kondisi fakta bersimpang siur dengan rekayasa. "Memang kecemasan yang sering mengemuka, orang akan lebih menyukai bentuk virtual daripada fisik. Komunikasi lebih banyak secara tidak langsung, daripada langsung. Kita akan lebih tau orang di ujung dunia, daripada tetangga sendiri," kata Alfathri.

Alfathri berpendapat, kadang Facebook sangat bermanfaat untuk melepaskan ketegangan, tertawa terbahak-bahak dan bercanda dengan teman lewat berbalas komentar, karena kita tidak akan tahan selalu bersikap serius. "Tapi yang menjadi pertanyaan, sebenarnya seberapa besar sih kita sudah memforsir otak?," kata Alfathri. Ia mempertanyakan, mahasiswa yang menyebut Facebook itu pelarian dari stres, sebenarnya harus ditelaah lebih jauh lagi penyebab mahasiswa itu stres. "Apa memang terlalu ‘hebat’ belajarnya, atau mungkin dia salah jurusan, atau mungkin memang malas saja?," katanya.

Alfathri menyoroti tentang mahasiswa yang kerap begadang main game sampai pagi, atau menghabiskan waktu seharian dengan ber-Facebook. Menurutnya, itu sebenarnya tanda-tanda bahwa anak muda kurang mendapat asupan "makanan bergizi" buah dari sistem pendidikan yang "gombal". "Itu karena pendidikan tidak menginspirasi, dosen kurang bagus dan kreatif. Kalau dosennya menyenangkan, mungkin bisa menginspirasi mahasiswanya lebih rajin membaca buku," kata Alfathri.

Namun demikian, menurut Alfathri, orang tetap tidak akan menggantikan secara keseluruhan pergaulan secara fisik. "Manusia nggak akan tahan hanya dengan virtual. Biasanya yang keranjingan, karena baru mengenal internet atau situs jaringan sosial itu. Tapi nanti akan ada satu titik jenuh juga dan kembali biasa," kata Alfathri.

Dituturkan Alfathri, kehadiran situs-situs jejaring sosial seharusnya bisa dimaknai untuk memacu kemajuan, dan bukannya tergelincir hanya menjadi simbol status. Sebab, gejala yang ada kini, orang seperti "berdosa" atau di-cap "tidak gaul" kalau tidak punya Facebook. "Jangan hanya ‘aksesoris sosial’ agar dianggap ‘gaul’, kalau bisa dimanfaatkan untuk yang lain, misalnya, promosi program kegiatan, bisnis, atau apapun, itu baru berguna," kata Alfathri. "Daripada sekadar update status, saya sedang begini, saya sedang begitu, ada baiknya juga, misalnya, kita membagi tulisan, atau quote yang inspiring, itu akan jauh lebih berharga," katanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar