Selasa, 13 April 2010

Pemimpin Cengeng


Kekerasan di mana-mana. Setiap hari, tanpa sehari pun jeda, kita disuguhi kekerasan. Dari pagi sampai malam. Kebencian seakan menjadi wabah. Mulai dari para elite sampai dengan rakyat jelata. Kekerasan menyeruak di relung-relung istana, Gedung DPR, Gedung KPK, gedung pengadilan, markas polisi, kantor gubernur, kantor kelurahan, lapangan bola, kampus-kampus, desa-desa sampai ke kampung-kampung. Baik fisik maupun kata-kata.

Inilah wajah negeri kita. Wajah yang
berdarah-darah. Hukum berjalan seperti di rimba. Ditafsir sesuai kepentingan. Siapa kuat dia menang. Keadilan hanyalah kata tanpa makna.

Wajah kekerasan terlihat gamblang di mana-mana. Baik vertikal maupun horizontal. Buka halaman koran, tekan tombol televisi. Nikmati drama pengosongan paksa rumah-rumah purnawirawan TNI. Bentrokan antarwarga, antarkampung. Tawuran antarmahasiswa. Perang suku. Penggusuran pedagang kaki lima dan rumah-rumah kumuh.

Belum puas? Silakan nikmati anggota paspampres bunuh kekasih gelap beserta janinnya, pengangguran cabuli belasan anak kecil lalu dimutilasi. Silakan terkagum-kagum melihat bonek bebas merusak dan merampok. Guru tempeleng murid dan kekerasan yang berulang lagi antara senior dan junior di perguruan tinggi. Sesama pengacara saling maki dan nyaris baku pukul di depan jutaan penonton televisi.
Balik halaman koran dan pindah saluran televisi. Di dalam gedung DPR, silakan nikmati “sinetron” Pansus Century. Di sini kekerasan bentuk lain dipertontonkan tanpa rasa malu. Kekerasan kata-kata tak berbatas. Mulai setan sampai bangsat. Mereka disebut anggota Dewan Yang Terhormat.

Di dalam gedung yang sama, wakil presiden diteriaki maling. Peneriak ditangkap, diperiksa, lalu dilepas karena tidak cukup bukti. Sang pemimpin, yang diteriaki maling, mengaku belum terpikir untuk melapor. Jadilah sang peneriak dielu-elukan bak pahlawan. Esoknya muncul pahlawan baru yang meng-copy paste tindakan itu. Kali ini yang diteriaki adalah maling menteri keuangan.

Masuklah ke mesin time tunnel dan mundurkan waktu ke beberapa bulan sebelumnya. Pertikaian para elit di seputar Bank Century sungguh menyita energi yang luar biasa. Saling tuding dan cuci tangan. Carut marut dan tak berujung. Tak ada yang sudi memikul dosa. Memalukan dan memuakkan. Tak ada yang mau bertanggung jawab. Tidak juga pemimpin tertinggi.

Putar lagi waktu ke lebih belakang. Simak hiruk pikuk Bibit-Chandra. Hukum menjadi alat permainan. Logika dijungkirbalikkan. Rakyat dianggap bodoh. Konspirasi besar ditutup-tutupi. Aparat menjadi alat. Janji membongkar sumber kebusukan hanya sebatas wacana. Berputar-putar tanpa arah. Membuat rakyat semakin tidak percaya.

Pindahkan saluran dan simak kejadian di Joglo, Jakarta. Seorang pemuda digebuki ramai-ramai oleh warga karena lalu-lalang di depan rumah yang dilalap api. Curiga pemuda itu (calon) maling, digebuklah dia ramai-ramai.

Di Nusa Tenggara Barat, warga menyerbu kantor polisi. Kaca-kaca dipecahkan. Tembok sel dijebol. Dua tersangka perampok diseret keluar lalu dihakimi. Satu mati, satu lagi sekarat dan dibawa lari pakai mobil polisi. Tinggallah keluarga almarhum terpekur di depan kuburan, bengong tidak mengerti apa yang terjadi.

Jika hati masih kuat, silak-an nikmati saluran televisi setiap hari. Nikmati wajah penuh kekerasan masyarakat kita. Wajah yang ditaburi benih kebencian dan kemarahan. Wajah penuh permusuhan. Persoalan kecil bisa rusuh. Wajah yang berdarah-darah di tengah persoalan hidup yang mendera.

Pemerintah kian kehilangan wibawa. Ketika kerbau menimbulkan kemarahan, anjing dan babi diarak di jalanan. Semangat perlawanan kian menyala-nyala. Semakin lama semakin membakar. Semakin lama semakin keras. Semakin lama semakin meluas. Di tengah aparat yang semakin gamang dan kehi-langan wibawa.

Negeri ini seolah berjalan tanpa pemimpin. Hukum menjadi susunan kata-kata tanpa makna. Kekerasan menjadi kebenaran. Kewibawaan hanya sebatas retorika. Ketegasan berganti keluhan.

Dalam situasi seperti ini, rakyat membutuhkan pemimpin yang tegas tapi bijaksana. Pemimpin yang jujur pada nuraninya. Pemimpin yang berwibawa dan disegani rakyatnya. Pemimpin yang dapat menegakkan keadilan di tengah kekacauan. Pemimpin yang mampu mengangkat moral dan wibawa aparatnya. Pemimpin yang mampu memberikan arah untuk mencapai kesejahteraan pada rakyatnya.
Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang pandai berwacana tanpa tindakan. Rakyat tidak butuh pemimpin yang tak henti berkeluh kesah memohon empati rakyat. Rakyat tidak butuh pemimpin yang mencitrakan diri sebagai korban yang terzalimi.

Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang cengeng.

2 komentar:

  1. tulisannya bagus dan menarik........ mohon izin sy copy untuk kebaikan dan amal (bukan untuk dikomersilkan), trims......

    BalasHapus